Pages

Subscribe:

Labels

Senin, 22 Desember 2008

Beberapa Daerah Tidak Dukung PNPM Mandiri

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat yang menurut pemerintah pusat adalah salah satu cara untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan ternyata menghadapi kendala. Tidak semua daerah mendukung pelaksanaannya. Alasannya, karena bupati/wali kota dan DPRD mencurigai program tersebut merupakan salah satu kampanye terselubung pemerintahan sekarang dalam rangka Pemilihan Umum 2009.
”Bahkan, tidak sedikit yang tidak memberi penjelasan sama sekali dan menolak untuk menyediakan dana daerah untuk PNPM Mandiri,” kata Deputi VII Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Koordinator Bidang Kesra Sudjana Royat di Jakarta, Senin (22/12).
PNPM Mandiri diluncurkan di Palu, Sulawesi Tengah, April 2007 yang mencakup dua program yang kemudian dijadikan sebagai PNPM Inti, yaitu PNPM Mandiri Perdesaan yang dikelola Departemen Dalam Negeri dan PNPM Mandiri Perkotaan yang dikelola Departemen Pekerjaan Umum.
Jumlah dana bantuan langsung masyarakat (BLM) PNPM Mandiri Perdesaan yang telah diserap masyarakat sampai Desember 2007 sejumlah Rp 1.259.598.989.364 dari total target penyerapan BLM sebesar Rp 1.421.425.000.000 atau 89 persen. Sisa anggaran tahun 2007 diluncurkan ke tahun anggaran 2008 sampai dengan Maret 2008. Pelaksanaan PNPM Perdesaan tahun 2007 di 1.969 kecamatan dari 32 provinsi dan 343 kabupaten.
Dana PNPM untuk tahun 2008 sebesar Rp 13,7 triliun dengan rata-rata pencairan 89 persen untuk 6.408 kecamatan dari 78.000 desa—70.000 desa sudah menerimanya.
”Dana tahun 2009 Rp 11,1 trilun. Jumlah ini akan ditambah Rp 5 triliun untuk menangani dampak krisis keuangan global. Dengan PNPM Mandiri ditargetkan penurunan angka kemiskinan sebesar 12,5-13 persen,” kata Sudjana.
Tidak mendukung
Dalam pelaksanaannya, PNPM Mandiri perlu dukungan dari pemerintah daerah melalui mekanisme kerja sama. Jumlah Dana Daerah untuk Program Bersama (DDUPB) guna mendukung PNPM Mandiri direncanakan 32 persen dari total alokasi BLM PNPM Mandiri 2008 yang berasal dari 336 kabupaten untuk PNPM Mandiri Perdesaan dan 245 kota/kabupaten untuk PNPM Perkotaan.
Daerah-daerah yang tidak menyediakan DDUPB tahun anggaran 2007, yaitu Kabupaten Muaro Jambi (Provinsi Jambi), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Jambi), Kabupaten Malinau (Kalimantan Timur), Kabupaten Bulungan (Kalimantan Timur), Kabupaten Berau (Kalimantan Timur), Kabupaten Barito Kuala (Kalimantan Selatan), dan Kabupaten Kepulauan Sula (Maluku Utara).
Daerah-daerah yang menolak dan tidak menyediakan DDUPB bagi PNPM Mandiri 2008, yakni Kota Semarang (Jateng), Kota Surabaya (Jatim), Kota Ambon (Maluku), Kota Mojokerto (Jatim), Kabupaten Deli Serdang (Sumut), Kota Medan (Sumut), Kota Tegal (Jateng), Kabupaten Sidoarjo (Jatim), Kabupaten Rokan Hilir (Riau), dan Kabupaten Kepulauan Sula (Maluku Utara).
Namun, meski ada daerah yang tidak mendukung, ternyata ada beberapa daerah yang komitmennya sangat tinggi mendukung PNPM Mandiri dan untuk tahun anggaran 2009 beberapa daerah menyatakan komitmennya untuk menyediakan DDUPB jauh melebihi ketentuan, yakni Kota Palopo, Kabupaten Maros, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Pasaman Barat, dan Kabupaten Paser. (LOK)
Sumber : Kompas, 23 Des 2008

Pembangunan Berparadigma Kepulauan

Jakarta, Kompas - Indonesia perlu melakukan terobosan supaya perhatian dan pembangunan bisa mulai berpaling secara proporsional ke pesisir dan kepulauan. Sebab, kawasan yang kaya sumber daya alam ini justru menjadi kantong-kantong kemiskinan dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah, infrastruktur dan fasilitas sangat terbatas, serta cenderung terisolasi.

”Pembangunan juga harus mulai mengutamakan kepulauan dan pesisir. Tantangan penurunan tingkat kemiskinan cukup tinggi untuk wilayah ini,” kata Syamsul Maarif, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, dalam perbincangan dan ekspose publik tentang ”Ekspedisi Bakti MDGs Kepulauan 2008-2009” di Jakarta, Senin (22/12).

Kemiskinan yang tinggi di wilayah kepulauan dan pesisir menjadi salah satu tantangan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) 2015 di Indonesia. Jumlah masyarakat pesisir saat ini sekitar 16,42 juta, yang tinggal di 9.515 desa pesisir. Tingkat kemiskinan rata-rata mencapai 32 persen.

Wilson TP Siahaan, MDG Campaign Advocacy Analyst-UNDP, mengatakan, pencapaian target MDGs untuk dikatakan sukses secara nasional pada 2015 agak sulit. Pasalnya, banyak juga daerah yang jauh dari pencapaian yang ditargetkan, termasuk di wilayah pesisir dan kepulauan.

Zulficar Mochtar, Direktur Ekspedisi MDGs Kepulauan, mengatakan, ekspedisi dengan kapal pinisi ini dilaksanakan pada Maret-November 2009 ke 100 pulau dan wilayah pesisir di Indonesia, termasuk beberapa pulau-pulau terluar Indonesia.

Ekspedisi ini menjadi kegiatan berbakti dan berbagi yang dilakukan dengan melibatkan banyak pihak, mulai dari pemerintah, LSM, relawan, hingga masyarakat, tanpa terjebak ego-institusi dan ego-sektoral. (ELN)

Sumber : Kompas

23 Desember 2008

Minggu, 21 Desember 2008

Pembangunan Ekonomi Daerah Berbasis Kompetensi Inti Daerah

1. Latarbelakang

Era otonomisasi daerah sekarang ini seharusnya memberikan peluang yang besar bagi daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan peluang yang ada tersebut diharapkan setiap daerah dapat berkembang lebih pesat dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga terjadi pemerataan pembangunan.

Masalah yang besar diahadapi oleh daerah saat ini adalah keterbatasan sumber daya pembangunan seperti ; inftastruktur, sumberdaya manusia, teknologi dan pembiayaan sehingga mengharuskan adanya prioritas pembangunan di daerah, yang didalam penentuannya sangat tergantung kepada tujuan yang ingin dicapai oleh daerah tersebut.(rencana pembangunan dan strategi pembangunan daerah).

Perubahan paradigma pembangunan dari berbasis pada sumberdaya alam (natural resources basis) sebagai keunggulan comparative, berakibat pada eksploitasi sumberdaya alam, dan terbukti tidak berkelanjutan dan beresiko pada rendahnya daya dukung sumberdaya lingkungan. Paradigma baru adalah, pembangunan berbasis pada kemampuan sumberdaya manusia (teknologi, kultur, pengetahuan dan pengalaman) dalam mengelola sumberdaya alam sehingga berbasis pada keunggulan inti daerah (regional core competences). Sumberdaya pembangunan bertumpu pada kolaborasi antara ketersediaan sumber daya pembangunan yaitu, sumber daya alam, sumberdaya manusia, teknologi, pasar, jaringan pemasok dan inftastruktur ekonomi. Pembangunan yang bertitik tolak dari pengembangan core competences, akan memberikan nilai tambah pada daerah tersebut.

Prespektif ini sejalan dengan semangat kemandirian daerah dalam UU No.32 tahun 2004, melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki secara effesien dan optimal dalam rangka membangun daya saing daerah.

2. Pembangunan berbasisi Kompetensi Inti Daerah

Kompetensi inti daerah, ialah kumpulan keterampilan dan teknologi yang dimiliki oleh masyarakat di daerah sesuai dengan kultur masyarakat dan merupakan collective learning , memiliki keunikan tersendiri dan menjadi driven (penghela) sector ekonomi lainnya.

Adalah tidak mungkin untuk mengembangkan seluruh sumber daya alam yang ada karena keterbatasan infrastruktur, tetapi yang dikembangkan adalah sector yang memiliki daya saing tinggi, yaitu kompetensi inti. Karena itu setiap daerah Kabupaten/ Kota dikembangkan kompetensi inti saja, dan akan berkolaborasi dengan pengembangan kompetensi inti daerah Kabupaten / Kota yang lain. Kolaborasi ini disebut dengan klaster regional, yang meningkatkan daya saing daerah.

Satu Kab / Kota satu kompetensi inti, dan setiap kompetensi inti daerah tersebut saling teintegrasi membangun daya saing kolektif yang berkesimambungan ( collective sustainable competitive advantage)

Fungsi dari Kompetensi Inti :

  • Menjadi kunci keberhasilan daerah dalam menentukan arah pembangunan sesuai dengan keunggulan daya saing yang dimilikinya.
  • Menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan kebijakan daerah mengenai sector ekonomi yang akan dikembangkan.
  • Mendorong kemandirian pembangunan daerah dalam menghadapi kompetisi global.

3. Strategi : Pengembangan Klster Industri

Secara harfiah pengertian Klaster (cluster ) adalah pengelompokan suatu kegiatan yang sejenis dalam lingkup wilayah tertentu. Dalam pengertian yang lebih sempit, klaster diterjemahkan pula dalam bahasa Indonesia sebagai sentra industri, yang merupakan aglomerasi kegiatan industri sejenis. Sejalan dengan perubahan lingkungan global, maka pengertian konsep klaster menjadi berkembang dan makin luas lingkupnya. Sehingga klaster industri tidak dapat lagi dipandang sebagai sentra industri, yang menekankan pada lokalisasi atau status demografi. Sedangkan klaster industri lebih memberikan penekanan pada aglomerasi perusahaan yang membentuk kerjasama strategis dan komplementer serta memiliki hubungan yang intensif. (Hanafi Wirabrata, 2000).

Konsep klaster industri (industrial cluster) pada ahkir-ahkir ini telah banyak dibahas dan didiskusikan, baik oleh para akademisi maupun para dunia usaha, terutama kaitannya dengan pembangunan industri. Konsep klaster industri merupakan bahagian yang tidak terpisahkan dari model-model pembangunan ekonomi secara keseluruhan di suatu negara. Dengan perubahan lingkungan strategis yang sangat dinamis, sejak awal tahun 90-an beberapa negara telah mengembangkan dan menerapkan konsep klaster industri secara sistimatik dan bertahap. Bahkan aplikasi klaster industri dapat dijadikan sebagai strategi pembangunan ekonomi dibanyak Negara, dan memberikan implikasi pada perobahan struktur ekonomi, moneter dan perdagangan.

Beberapa negara di kawasan regional telah mengembangkan industri dengan pendekatan cluster untuk menjawab tantangan terhadap perubahan ekonomi negara secara global. Dalam tiga dasa warsa terahkir ini pembangunan industri di Indonesia masih cenderung berorientasi pada pendekatan broad spectrum (perspektif industri). Pada tahap awal pembangunan industri strategi tersebut telah memberikan hasil yang baik, dimana telah terjadi perubahan struktur ekonomi. Namun dengan telah berubahnya lingkungan global secara cepat ternyata struktur industri nasional tidak mampu bertahan. Beberapa gejala yang perlu mendapat perhatian adalah antara lain :

1. Perubahan produksi.

2. Perubahan pola persaingan.

3. Mobilitas modal dan pergerakan investasi.

4. Perubahan tatanan perdagangan internasional.

Selain dari itu terdapat perubahan yang sangat cepat dalam perkembangan tekno-logi informasi dan transportasi yang akan sangat bermakna terhadap perkembangan industri nasional. Daya saing suatu negara, misalnya dalam konteks persaingan industri, memperlihatkan bahwa keunggulan kompetitif tidak hanya ditentukan oleh masing-masing perusahaan secara individu. Setiap perusahaan secara inheren merupakan bagian dari suatu klaster, dimana peran masing-masing bergerak dalam satu alur mata rantai nilai (value chain).

Dari pengalaman di beberapa negara ternyata bahwa suatu klaster yang kuat akan menjamin keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Disisi lain, perspektif industri memperlihatkan bahwa kelompok industri alas kaki hanya didasarkan kepada karakteristik produk dari produk atau pohon industri. Sedangkan perspektif klaster berdasarkan kepada empat elemen kunci yaitu Aglomerasi, nilai tambah (value added) dan mata rantai nilai (value chain), jaringan pemasok dan infrastruktur ekonomi. Dalam perkembangannya ternyata bahwa pendekatan konsep klaster industri lebih efektif untuk dapat mengantisipasi dinamika persaingan global.

Konsep klaster industri menitik beratkan pada integrasi yang penuh dari seluruh kegiatan sepanjang mata rantai nilai (value chain). Sasaran utama pengembangan klaster adalah untuk meningkatkan dan mengembangkan nilai tambah sejak dari kegiatan paling hulu sampai kegiatan paling hilir, baik produk manufaktur maupun jasa.

Secara umum strategi untuk memperoleh dan meningkatkan nilai tambah dilakukan dengan cara proses mengikuti mata rantai nilai. Secara sederhana kegiatan ini akan melibatkan aktifitas : penelitian dan pengembangan (Riset and Development), rancangan awal produksi, kegiatan perbaikan, persiapan prototipe, rancangan proses, pengadaan komponen dan material, sub rakitan, rakitan ahkir, jaminan mutu, distribusi dan pemasaran.

Konsep klaster industri melibatkan empat elemen kunci yaitu aglomerasi, nilai tambah dan rantai nilai, jaringan pemasok dan infrastruktur ekonomi.

<-------->.